SASTRO JENDRO
HAYUNINGRAT PANGRUWATING BIYU
untuk mencapai sastra cetha ada 7
tahapan yang kudu dilalui yakni:
1.Tapaning jasad:
mengendalikan
atau menghentikan gerak tubuh dan gerak fisik lainnya,lakunya tidak dendam
,sakit hati .semua hal diterima dengan legawa-tabah dengan kesungguhan hati
alis tan milih tan nolak
2.Tapaning budhi:
artinya menghilangkan perbuatan
yang hina (nista) dan hal hal yang tidak jujur
3.Tapaning hawa nafsu:
mengendalikan
nafsu atau sifat angkara murka dari pribadi kita.lakunya sabar dan selalu
berusaha menyucikan diri,punya perasaan dalam,mudah memberi maaf dan taat pada
tuhan yang maha esa.
4.Tapaning cipta:
artinya
memperhatikan perasaan secara sungguh sungguh atau dalam bahasa jawanya ngesti
sarasaning raos ati,berusaha sekuat tenaga menuju
heneng–meneng-khusyuk-tumaknina,sehingga hasilnya tidak akan diombang ambingkan
oleh siapapun dan apapun dan yang akhir selalu hening-wening atau waspada
supaya bisa konsentrasi ke alloh swt
5.Tapaning sukma:
dalam tahapan
ini kita fokus ke ketenangan jiwa.amalnya ikhlas dan memperluas rasa
kedermawanan kita dengan memberi derma kepada fakir miskin secara iklas
6.Tapaning cahya:
maknanya dalam
tataran ini selalu eling,awas dan waspada.sehingga hasilnya kita mempunyai daya
meramalkan sesuatu secara tepat alis waskitha,amal eling dan waspada diikuti
dengan menghindari hal hal yang bersifat glamour dunia atau memabukan yang
mengakibatkan batin kita menjadi samar.
7.Tapaning gesang:
dalam tahapan
akhir ini kita berusaha sekuat tenaga dengan hati hati menuju kesempurnaan
hidup dan taat pada Tuhan Yang Mahaesa.
Satriyo tanah jawa
Dipaparkan ada
tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang dikemudian hari akan
memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit ,
yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro,
Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar,
Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong
Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandito Sinisihan
Wahyu.Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba
menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :
SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO.
Tokoh pemimpin
yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari
belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat
tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan
sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga
Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR.
Tokoh pemimpin
yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan
mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu
dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang
dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia
dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR.
Tokoh pemimpin
yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau
transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini
ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa
tahun 1998-1999.
SATRIO LELONO TAPA NGRAME.
Tokoh pemimpin
yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang
yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame).
Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden
Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.
SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH.
Tokoh pemimpin
yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh
yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima
Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.
SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO.
Tokoh pemimpin
yang berpindah tempat (Boyong / dari menteri menjadi presiden) dan akan menjadi
peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan
(Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang
dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa
ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang
Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria
piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia
sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat
dan teknokrat saja tak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik.
Ancaman bencana alam, disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang
terus terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil.
SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU.
Tokoh pemimpin
yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi
Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum / petunjuk
Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu bersandar hanya kepada Allah SWT,
Insya Allah, bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang sejati.
Wirid maklumat jati“Wedharing Ilmu Kabatosan”
Di dalam
kepustakaan Jawa, dikenal kitab kuno, yakni kitab Primbon Atassadhur Adammakna,
merupakan salah satu kitab terpenting dalam ajaran Kejawen. Di dalamnya memuat
ajaran-ajaran utamanya yakni Wirid Maklumat Jati di mana mencakup delapan
wiridan sebagai berikut ;
1. Wirayat-Jati;
Ajaran yang
mengungkap rahasia dan hakikatnya ilmu kasampurnan. Ilmu “pangracutan”
sebagaimana yang ditempuh oleh Sinuhun Kanjeng Sultan Agung merupakan bentuk
“laku” untuk menggapai ilmu kasampurnan ini.
2. Laksita-Jati;
Ajaran tentang
langkah-langkah panglebur raga, agar supaya orang yang meninggal dunia, raganya
dapat melebur ke dalam jiwa (warangka manjing curiga). Kamuksan, mokswa, atau
mosca, yakni mati secara sempurna, raga hilang bersama sukma, yang lazim
dilakukan para leluhur zaman dahulu merupakan wujud warangka manjing curiga.
3. Panunggal-Jati;
Ajaran tentang
hakikat Tuhan dan manusia mahluk ciptaanNya. Atau hakikat manusia sebagai
mahluk ciptaan Tuhan. Meretas hakekat ajaran tentang “manunggaling kawula lan
Gusti” atau “jumbuhing kawula-Gusti”. Panunggal-Jati berbeda dengan Aji
Panunggal. Aji Panunggal membeberkan ke-ada-an jati diri manusia, yang meliputi
adanya pancaindera. Aji Panunggal juga mengajarkan tata cara atau teknik untuk
melakukan semedi/maladihening/mesu budi/yoga sebagai upaya jiwa dalam rangka
menundukkan raga.
4. Karana-Jati;
Ajaran tentang
hakikat dan asal muasalnya manusia, ajaran ini sebagai cikal bakal ilmu
“sangkan-paraning dumadi”. Siapakah sejatinya manusia. Hendaknya apa yang
dilakukan manusia. Akan kemana kah selanjutnya manusia.
5. Purba Jati;
Ajaran tentang
hakikat Dzat, ke-Ada-an Dzat yang sejati. Menjawab pertanyaan,”Tuhan ada di
mana ? Dan membeberkan ilmu tentang sejatinya Tuhan. Seyogyanya Purba Jati
dibaca oleh pembaca yang budiman dan bijaksana, dan bagi yang telah mencapai
tingkatan pemahaman tasawuf agar supaya tidak terjadi kekeliruan pemahaman.
6. Saloka-Jati;
Ilmu tentang
perlambang, sanepan, kiasan yang merupakan pengejawantahan dari bahasa alam,
yang tidak lain adalah bahasa Tuhan. Supaya manusia menjadi lebih bijaksana dan
mampu nggayuh kawicaksananing Gusti; mampu membaca dan memaknai bahasa
(kehendak) Tuhan. Sebagai petunjuk dasar bagi manusia dalam mengarungi samudra
kehidupan.
7. Sasmita-Jati;
Ilmu yang
mengajarkan ketajaman batin manusia supaya mengetahui kapan “datangnya janji”
akan tiba. Semua manusia akan mati,
tetapi tak pernah tahu kapan akan meninggal dunia. Sasmita Jati mengungkap
tanda-tanda sebelum seseorang meninggal dunia. Tanda-tanda yang dapat dibaca
apabila kurang tiga tahun hingga sehari seseorang akan meninggal dunia. Dan
bagaimana manusia mempersiapkan diri untuk menyongsong hari kematiannya.
8. Wasana-Jati;
Ilmu yang menggambarkan apa yang terjadi pada
waktu detik-detik terakhir seseorang meninggal dunia, dan apa yang terjadi
dengan sukma atau ruh sesudah seseorang itu meninggal dunia.
WIRID SALOKA JATI
1. Gigiring Punglu; Gigiring
mimis; Merupakan
perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya
berada di dalam hidup kita pribadi.
2. Tambining Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan,
ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-laki bukan perempuan atau
kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya, terproyeksikan
dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
3. Wekasaning Langit; batas
langit ; umpama batas
jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas
jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
4. Wekasaning Samodra tanpa
tepi; berakhirnya samodra
tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir daya jangkauan rahsa atau rasa
(sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.
5. Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau
intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong); maksudnya,
perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun tiada.
6. Latu sakonang angasataken
samodra; bara api
setungku membuat surut air samodra. Menggambarkan keluarnya nafsu yang
bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
7. Peksi miber angungkuli
langit; burung terbang
melampaui langit. Menggambarkan kekuatan akal budi kita yang bersemayam di
dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu.
8. Baita amot samodra; perahu memuat samodra; baita atau perahu
kiasan untuk badan kita, sedangkan samodra merupakan kiasan untuk hati kita.
Secara fisik hati berada di dalam jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang
lebih kecil dari hati.
9. Angin katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan
pemberhentian nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam
jasad kita pula. Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang
menarik atau mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan yang menarik
angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad kecil.
10. Susuhing angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal
sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
11. Bumi kapethak ing
salebeting siti; bumi
ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal dari
tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
12. Mendhet latu adadamar
(mengambil bara sambil membawa api); atau latu wonten salebeting latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi
ing latu (bara terbakar oleh bara); menggambarkan badan kita berasal dari bara
api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya
hawa nafsu kita.
13. Barat katiup angin; atau
angin anginte prahara;
angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang menghidupkan badan kita berasal
dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
14. Tirta kinum ing toya
(air tertelan oleh air), atau ngangsu rembatan toya (menimba dengan air); atau toya salebeting toya (air di dalam
air); menggambarkan badan kita berasal dari air, selalu dialiri dan mengalirkan
air, maksudnya darah kita.
15. Srengenge pinepe, atau
kaca angemu srengenge;
matahari terjemur, kaca mengandung matahari; artinya bahwa adanya cahaya karena
sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam cahaya. Hal ini
menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu seperti matahari,
namun mata dapat melihat karena selalu disinari oleh sang surya.
16. Wiji wonten salabeting
wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di
dalam biji) ; dinamakan
pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan berada
dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing
kawula-Gusti).
17. Kakang barep adhine
wuragil ; kakaknya
sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan sejatinya
diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus sebagai
“awalan”. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awal kehidupannya di
dunia, sekaligus akhir dari sebuah proses triwikrama atau tiga kali menitisnya
“Dewa Wisnu” menjadi manusia melewati 4 zaman; kertayuga, tirtayuga,
dwaparayuga, kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal, merupakan akhir dari
kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati,
azali abadi.
18. Busana kencana retna
boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai
“busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau
kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
19. Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus
menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya
umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
20. Sawanganing samodra
retna; pemandangan intan
samodra. Menggambarkan pintu
pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa
sanga” atau sembilan titik yang terdapat di dalam diri manusia sebagai
penghubung kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori selamatangkeb;
melar-mingkupnya maras atau membuka-menutupnya mulut).
21. Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam
disebut jembatan “siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya yatma sampai pada
ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai
perlambang keluarnya ucapan mulut manusia.
22. Bale tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung.
Dalam terminologi Islam disebut arsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan
Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat
di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan
sebagaimana makhlukNya saja. Dalam konteks ini, aras atau tawang gantungan
adalah perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai
“balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi,
atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan) Zat.
Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagai tawang
gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
23. Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam
termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya
papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya
adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang
terletak di dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat
merupakan perlambang dari nur suci (nurullah) atau cahyo sejati. Cahyo sejati
menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkan loh-kalam artinya bayangan
atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh
malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah pralambang dari sukma sejati yang
selalu menjaga budi agar tidak mengikuti nafsu.
24. Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau
traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca
(alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra
(penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit
(perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira,
Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkan panimbang
(alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra.
25. Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan
antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya
antara Zat dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa
cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan
eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan
ini menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis
sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian
“dwi tunggal” (loroning atunggil).
26. Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan
solah dan bawa. Solah adalah gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik
batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung
rasa. Solah merupakan rahsaning karep (nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan
kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan
sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
27. Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana
(mata batin), dengan sifatnya yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda.
Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
28. Medhal katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat
(Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan
menimbulkan suara.
29. Katingal amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan
kenyataannya menghirup atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
30. Menawi pejah mboten
kenging risak ; bila mati
tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap
abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang
berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni
roh kita sendiri.
31. Menawi karisak mboten
saget pejah ; bila
dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungan nafsu dan rasa. Walaupun
nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat
disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr
kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya
tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad
tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita
waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati
baru dapat diraih apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna
berganti keinginan rahsa sejati (kareping rahsa).
32. Sukalila tega ing pejah
; sukarela dan tega untuk
mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara; pertama,
sikap senang seperti merasa akan mendapat kegembiraan di alam kasampurnan.
Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang berharga.
Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang
memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara
lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih
kesucian sejati hakekatnya orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang
selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni
kematian nur atau cahaya sejati.
Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang
digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut
kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang
dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula (manusia).
Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti)
sebagaimana “cangkriman” berikut ini;
“bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”
Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari
parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda dengan pepes atau
pelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi
bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang.
Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi
sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.
Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng.
Sehingga namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang
sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga
terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namun alu di sini
bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagai bothok.
Cangkriman di atas adalah pribahasa yang
menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya menggunakan akal
budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak
lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan
“sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya
manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita.
Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari solah
dan bawa. Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani.
Godhong asem, adalah kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk
purusa, yakni kemaluan laki-laki.
WIRID PURBA JATI
Seluruh manusia, dalam benaknya memiliki rasa
keingintahuan tentang wujud Tuhan. Maka lazim lah manusia membayangkan
bagaimana gambaran keadaan Tuhan itu sebenarnya. Dalam beberapa agama samawi,
menggambarkan keadaan Tuhan adalah “ranah terlarang” atau ruang lingkup yang
musti dihindari, tidak menjadi pembahasan dengan obyek Dzat secara datail dan
gamblang. Dengan alasan bahwa
Tuhan sebagai Dzat yang amat sangat sakral. Maka menggambarkan keadaan Dzat
Tuhan pun manusia dianggap tidak akan mampu dan akan menemui kesalahan
persepsi, yang dianggap beresiko dapat membelokkan pemahaman. Hal itu wajar
karena menggambarkan Tuhan secara vulgar dapat mengakibatkan konsekuensi buruk.
Tidak menutup kemungkinan akan terjadi “pembendaan” Tuhan sebagai upaya manusia
mengkonstruksi imajinasinya secara konkrit. Maka atas alasan tersebut terdapat
asumsi bahwa upaya manusia menggambarkan keadaan Tuhan denga cara apapun pasti
salah. Namun demikian, lain halnya dengan agama-agama “bumi” dan ajaran atau
kearifan-kearifan lokal yang berusaha menggambarkan keadaan Tuhan dengan cara
arif dan hati-hati. Manusia berusaha menjelaskan secara logic dalam asas
hierarchis, sesuai dengan kemampuan nalar, akal budi, dan hati nurani yang
dimiliki manusia. Ditempuh melalui “laku” spiritual dan olah batin yang
mendalam dan berat serta mengerahkan kemampuan akal budi (mesu budi).
PIJAKAN SASMITA
Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha Wisesa
kang Langgeng Ora Owah Gingsir, dalam bahasa Timteng lazimnya disebut Qadim,
yang azali abadi. Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya “sesuatu tanpa nama”
yang ada, mandiri dan paling berkuasa, mengatasi jagad raya sejak masih
awang-uwung. Di sebut maha kuasa artinya, Dzat yang tanpa wujud, berada merasuk
ke dalam energi hidup kita. Tetapi banyak yang tidak mengerti dan memahami,
karena keber-ada-annya lebih-lebih samar, tanpa arah tanpa papan (gigiring
punglu), tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna, rupa, bersifat elok,
bukan laki-laki bukan perempuan, bukan banci. Dzat dilambangkan sebagai
“kombang anganjap ing tawang” kumbang hinggap di awang-awang, hakekatnya
tersebutlah “latekyun”, oleh karena keadaan yang belum nyata. Artinya, hidup
adalah sifat dari Hyang Mahasuci, menyusup, meliputi secara komplet atas jagad
raya dan isinya. Tidak ada tempat yang tanpa pancaran Dzat. Seluruh jagad raya
penuh oleh Dzat, tiada celah yang terlewatkan oleh Dzat, baik “di luar” maupun
“di dalam”. Dzat menyusup, meliputi dan mengelilingi jagad raya seisinya.
Demikianlah perumpamaan keber-ada-an Pangeran (Tuhan) Yang Mahasuci, ialah yang
terpancar di dalam hidup kita pribadi.
Dzat merupakan sumber dari segala sumber adanya
jagad raya seisinya. Retasan dari Dzat Yang Mahasuci dalam mewujud makhluk
ciptaanNya, dapat digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai
berikut;
Dzat; Hyang Mahasuci, Maha Kuasa, Dzatullah; sumber dari segala sumber adanya
jagad raya dan seluruh isinya.
“Nalikå awang-awang – uwúng-uwung, dèrèng wóntên punåpå punåpå, Hyang Måhå
Kawåså manggèn wóntên satêngahíng kawóntênan, nyíptå dumadósíng pasthi. Wóntên
swantên ambêngúng ngêbêgi jagad kadós swantêníng gênthå kêkêlêng. Ingriku
wóntên cahyå pacihang gumêbyar mungsêr bundêr kadós antigå (tigan) gumandhúl
tanpå canthèlan. Énggal dipún astå déníng Hyang Måhå Kawåså, dipún pujå : lalu
meretaslah Kayyun.
Kayu/kayyun; yang hidup/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari Dzat yang sejati,
memancarkan energi hidup. Kayun yang mewujud karena “disinari” oleh Dzat
sejati. Dilambangkan sebagai kusuma anjrah ing tawang, yakni bunga yang tumbuh
di awang-awang, dalam martabatnya disebut takyun awal, kenyataan awal muasal.
Segala yang hidup disusupi dan diliputi energi kayu/yang hidup.
Cahaya dan teja, nur, nurullah; pancaran lebih
konkrit dari kayun. Teja menjadi perwujudan segala yang hidup, karena
“disinari” kekuasaan atma sejati. Dilambangkan sebagai tunjung tanpo telogo,
bunga teratai yang hidup tanpa air. Berbeda dengan api, cahaya tidak memerlukan
bahan bakar. Cahaya mewujud sebagai hakikat pancaran dari yang hidup. Di dalam
cahaya tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat cahaya adalah jenjem-jinem,
ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya. Hakikatnya hanyalah
sujud/manembah yang digerakkan oleh energi hidup/kayun, yakni untuk manembah
kepada Dzat yang Mahasuci. Dalam martabatnya disebut takyunsani, kenyataan
mewujud yang pertama. Ruh yang mencapai kamulyan sejati, di dalam alam ruh
kembali pada hakikat cahaya. Sebagai sifat hakekat “malaikat”.
Rahsa, rasa, sir, sirullah; sebagai perwujudan
lebih nyata dari cahaya. Sumber rahsa berasal dari terangnya cahaya sejati.
Dilambangkan isine wuluh wungwang, artinya tidak kentara; tidak dapat dilihat
tetapi dapat dirasakan. Maka dalam martabat disebut akyansabitah. Ketetapan
menitis, menetes, dalam eksistensi sebagai sir. Yakni menetes/jatuhnya cahaya
menjadi rasa.
Roh, nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai
perwujudan dari hakekat rasa. Sebab dari terpancarnya rasa sejati, diumpamakan
sebagai tapaking kuntul nglayang. Artinya, eksistensi maya yang tidak terdapat
bekas, maka di dalam martabat disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang
sesungguhnya, keluar dalam bentuk kenyataan maya. Karena ruh diliputi rahsa,
wujud ruh adalah eksistensi yang mempunyai rasa dan kehendak, yakni kareping
rahsa; kehendak rasa. Tugas ruh sejati adalah mengikuti kareping rahsa atau
kehendak rasa, bukan sebaliknya mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh
sejati/roh suci/ruhul kuddus harus menundukkan nafsu.
Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh,
yang terpancar dari sinar sukma sejati. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu
murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api” di
dalam air samudra yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber
keburukan/angkara (nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air
samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai
akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya.
Paradoks dari tugas roh, apabila nafsu lah yang menundukkan roh, maka manusia
hanya menjadi “tumpukan sampah” atau hawa nafsu angkara. Mengikuti rasanya
keinginan (rahsaning karep).
Akal-budi, disebut juga indera. Keberadaan nafsu
menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan sebagai kudha ngerap ing
pandengan, kudha nyander kang kakarungan. Akal-budi letaknya di dalam nafsu,
diibaratkan sebagai “orang lumpuh mengelilingi bumi”. Adalah tugas yang amat
berat bagi akal-budi; yakni menuntun hawa nafsu angkara kepada yang
positif/putih (mutmainah). Sehingga diumpamakan wong lumpuh angideri jagad;
orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut juga akyanmaknawiyah. Kemenangan
akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang positif dan tidak merusak, maka akan
melahirkan nafsu baru, yakni nafsul mutmainah.
Jasad/badan/raga. Merupakan perwujudan paling
konkrit dari ruh (mahujud), dan retasan berasal dari derivasi terdekatnya yakni
panca indera sejati. Jasad menjadi wahana adanya sifat. Jasad menjadi bingkai
sifat, diumpamakan sebagai kodhok kinemulan ing leng. Kodhok personifikasi dari
sifat manusia yang rendah, karena cenderung mengikuti hawa nafsu (rasaning
karep), diselimuti oleh liang/rumah kodhok; liang adalah personifikasi dari jasad.
Sifat-sifat manusia yang masih tunduk oleh jasad, merupakan gambaran Dzat sifat
yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat ke-makhluk-an. Sifat-sifat
Dzat Tuhan dalam diri manusia masih diliputi oleh sifat kedirian manusia.
Sebaliknya, pencapaian kemuliaan hidup manusia dilambangkan sebagai kodhok
angemuli ing leng, kodok menyelimuti liangnya, apabila jasad keberadaannya
sudah “di dalam”. Artinya
hakekat manusia sudah diliputi oleh sifat Dzat Tuhan.
SISTEMATIKA MENUJU DZAT
Ketetapan jasad ditarik oleh akal
Ketetapan akal ditarik oleh nafsu
Ketetapan nafsu ditarik oleh roh
Ketetapan roh ditarik oleh sir
Ketetapan sir ditarik oleh nur
Ketetapan nur ditarik oleh kayun
Ketetapan kayu/kayun ditarik oleh Dzat
TANGGA UNTUK “BERTEMU” TUHAN (PARANING DUMADI)
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia
memiliki dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi, kutub badan kasar
atau jasad yang menyelimuti akal budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik)
juga merupakan tempat bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik), di lain
sisi. Manusia diumpamakan berdiri di persimpangan jalan. Tugas manusia adalah
memilih jalan mana yang akan dilalui. Tuhan menciptakan SEMUA RUMUS (kodrat)
sebagai rambu-rambu manusia dalam menata hidup sejati. Masing-masing rumus
memiliki hukum sebab-akibat. Golongan manusia yang berada dalam kodrat Tuhan
adalah mereka yang menjalankan hidup sesuai rumus-rumus Tuhan. Setiap
menjalankan rumus Tuhan akan mendapatkan “akibat” berupa kemuliaan hidup,
sebaliknya pengingkaran terhadap rumus akan mendapatkan “akibat” buruk (dosa)
sebagai konsekuensinya. Misalnya; siapa menanam; mengetam. Rajin pangkal
pandai. (lihat dalam Wirayat Laksita Jati).
Tugas manusia adalah menyelaraskan sifat-sifat
kediriannya ke dalam “gelombang” Dzat sifat Tuhan. Dalam ajaran Kejawen lazim
disebut manunggaling kawula gusti; dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Kodrat
manusia yang lahir ke bumi adalah mensucikan jasad, jasad yang diliputi oleh
Dzat sifat Tuhan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut;
“jasad dituntun oleh keutamaan budi, budi terhirup
oleh hawanya nafsu, nafsu (rahsaning karep) diredam oleh kekuasaan sukma
sejati, sukma diserap mengikuti rasa sejati (kareping rahsa), rahsa luluh
melebur disucikan oleh cahaya, cahaya terpelihara oleh atma (energi yang
hidup), atma berpulang ke dalam Dzat, Dzat adalah qadim ajali abadi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar